Ilmu Pengetahuan

Selamat Datang di Blog Daniy Jutek :D

Senin, 31 Maret 2014

Sejarah Lahirnya Pancasila


Pancasila merupakan sebuah ideologi yang menjadi dasar negara kita yaitu Indonesia. Secara tata bahasa (etimology) kata pancasila berasal dari bahasa sansekerta yaitu pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Maka bisa dikatakan bahwa Pancasila adalah 5 asas yang dijadikan pedoman berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Menurut sejarah pancasila, sebelum Pancasila resemi dijadikan sebagai dasar negara, seperti sekarang ini pancasila telah mengalami penyesuaian pada masa perumusanya. Saat masa itu terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu :
  • Lima Dasar oleh Muhammad Yamin. Lima dasar tersebut disampaikan dalam pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945. Adapun 5 dasar yang beliau ungkapkan adalah sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. M Yamin menyatakan bahwa dasar tersebut bersumber dari sejarah, peradaban, agama, dan ketatanegaraan yang memang sudah berkembang di Indonesia.  Akan tetapi, Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
  • Panca Sila oleh Soekarno yang disampaikanya pada tanggal 1 Juni 1945 pada pidato spontannya. Pidato tersebut yang kemudian dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila“. Adapun dasar-dasar negara yang di ungkap oleh Soekarno adalah sebagai berikut: Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, dasar perwakilan dasar permusyawaratan, Kesejahteraan, Ketuhanan.
Nama Pancasila sendiri pertamakali di ungkapkan oleh Soekarno pada pidatonya 1 Juni itu, berikut kutipanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara hal tersebut pun diikuti dengan pengokohanya melalui dokumen resmi sebagai berikut:
  1. Rumusan Pertama : Ditetapkan melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter)  pada tanggal 22 Juni 1945
  2. Rumusan Kedua : Ditetapkan pada Pembukaan Undang-undang Dasar [pada tanggal 18 Agustus 1945
  3. Rumusan Ketiga : Ditetapkan pada Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949
  4. Rumusan Keempat : Ditetapkan pada Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara pada tanggal 15 Agustus 1950
  5. Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
 Rumusan pancasila ini akhirnya menetapkan 5 sila dalam pancasila yaitu :
  1. Ketuhanan yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Hari Kesaktian Pancasila

Berdasarkan sejarah pancasila sebagai dasar negara, setelah Pancasila resmi dijadikan sebagai dasar negara ternyata kekuatan pancasila sebagai dasar negara pun akhrinya menghadapi ujian. Ujian tersebut terjadi pada tanggal 30 September 1965, dimana terjadi gerakan Gerakan 30 September (G30S). Pada kejadian tersebut memicu perdebatan para akademisi tentang siapa penggagas dibalik gerakan tersebut. Akan tetapi kelompok otoritas militer dan kelompok religi telah menyebarkan kabar bahwa hal tersebut merupakan upaya PKI yang berusaha merubah dasar negara yaitu “Pancasila” jadi ideologi komunis. Akhirnya terjadilah pembubaran gerakan tersebut dan berakhir dengan pembantaian sepanjang tahun 1965 – 1966. Pemerintah orde baru yang mengambil alih kekuasaan menjadikan peringatan gerakan G30S pada 30 September dan tanggal 1 Oktober sebagai “Hari kesaktian pancasila”.

Teori dalam Penyimpangan : Teori Sosialisasi


TEORI SOSIALISASI
Perilaku menyimpang ialah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat atau kelompok. Perilaku menyimpang disebut nonkonformitas. Perilaku yang tidak menyimpang disebut konformitas, yaitu bentuk interaksi seseorang yang berusaha bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Norma dan nilai bersifat relatif dan mengalami perubahan dan pergeseran. Suatu tindakan di masa lampau dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sekarang hal itu dianggap biasa. Contoh, dahulu seorang anak apabila diberi nasihat oleh orang tuanya, hanya menunduk saja. Akan tetapi, anak sekarang ketika berinteraksi dengan orang tuanya bisa mengemukakan pendapatnya. Begitu pula ketentuan-ketentuan sosial di dalam suatu masyarakat berbeda, dengan ketentuan-ketentuan sosial di dalam masyarakat lain. Akibatnya, tindakan yang bagi suatu masyarakat merupakan penyelewengan, bagi masyarakat merupakan suatu tindakan yang biasa. Umpamanya: Masyarakat patrilineal tidak membolehkan perkawinan yang masih bersaudara, tetapi dalam masyarakat lainnya bisa dilaksanakan. Hal itu berarti bahwa norma dan nilai bersifat relatif.
Perilaku menyimpang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dalam masyarakat. Pada masyarakat tradisional, proses penyesuaian sangat kuat. Dalam masyarakat pedesaan, tradisi dipelihara dan dipertahankan. Warga desa cenderung tidak mempunyai pemikiran lain, kecuali menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku, yaitu berdasarkan ukuran yang telah dijalankan oleh nenek moyangnya.
Masyarakat perkotaan mempunyai kecenderungan berupa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada. Dengan globalisasi, komunikasi, informasi, dan teknologi, masyarakat kota dimungkinkan melakukan penyimpangan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat desa. Hal ini ter adi karena setiap individu kurang saling mengenal dan kurang adanya interaksi, sehingga mereka tidak tabu urusan orang lain. Kontrol sosial dalam masyarakat pedesaan tidak dapat diterapkan di masyarakat perkotaan.
Teori-teori umum tentang penyimpangan berusaha menjelaskan semua contoh penyimpangan sebanyak mungkin dalam bentuk apapun (misalnya kejahatan, gangguan mental, bunuh diri dan lain-lain). Berdasarkan perspektifnya penyimpangan ini dapat digolongkan dalam dua teori utama. Perpektif patologi sosial menyamakan masyarakat dengan suatu organisme biologis dan penyimpangan disamakan dengan kesakitan atau patologi dalam organisme itu, berlawanan dengan model pemikiran medis dari para psikolog dan psikiatris. Perspektif disorganisasi sosial memberikan pengertian pemyimpangan sebagai kegagalan fungsi lembaga-lembaga komunitas lokal. Masing-masing pandangan ini penting bagi tahap perkembangan teoritis dalam mengkaji penyimpangan.
Teori-Teori Sosiologi tentang Perilaku Menyimpang
Teori sosiologi atau teori belajar memandang penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Pembelajaran itu mungkin tidak kentara, misalnya saat orang belajar bahwa penyimpangan tidak mendapat hukuman. Tetapi pembelajaran itu bisa juga termasuk mangadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang menetapkan penyimpangan diinginkan atau dibolehkan dalam keadaan tertentu. Teori Differential Association oleh Sutherland adalah teori belajar tentang penyimpangan yang paling terkenal. Walaupun teori ini dimaksudkan memberikan penjelasan umum tentang kejahatan, dapat juga diaplikasikan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Sebenarnya setiap teori sosiologis tentang penyimpangan mempunyai asumsi bahwa individu disosialisasikan untuk menjadi anggota kelompok atau masyarakat secara umum. Sebagian teori lebih menekankan proses belajar ini daripada teori lainnya, seperti beberapa teori yang akan dibahas pada Bab berikutnya.
Pandangan dasar teori sosialisasi adalah bahwa penyimpangan sosial merupakan produk dari proses sosialisasi yang kurang sempurna atau gagal.
Menurut Albert Bandura dan Richard H. Walters misalnya, anak-anak belajar perilaku menyimpang dengan mengamati dan meniru orang lain yang memiliki perilaku menyimpang. Khususnya, mereka mengamati dan meniru orang yang dekat dengannya.
Selanjutnya, menurut Deborah M. Capaldi dan Gerald M. Peterson, anak-anak yang agresif umumnya berasal dari keluarga yang orang tuanya terlalu keras dan agresif. Akibatnya, anak kehilangan teladan pengendalian diri dan mungkin menanggapi hukuman dengan meningkatkan agresi. Intinya, perilaku menyimpang dihasilkan oleh proses sosialisasi yang sama dengan perilaku itu.
Sementara itu, menurut Mark S. Gaylord dan john F. Galliher serta Edwin Sutherland, orang yang memiliki perilaku menyimpang cenderung memiliki ikatan sosial dengan orang lain yang memiliki perilaku menyimpang, dimana orang tersebut mengokohkan norma-norma dan nilai-nilai yang menyimpang. Prinsipnya, setiap kelompok sosial akan mewariskan nilai-nilai dan norma-norma kelompoknya kepada anggota-anggota baru.
Kaum muda pada umumnya sangat terbuka terhadap norma, perilaku, dan nilai-nilai yang berasal dari subkultur berbeda, termasuk subkultur perilaku menyimpang. Karena itu, menurut Ronald R. Akers perilaku teman-teman dekat merupakan sarana yang paling baik untuk memprediksi apakah perilaku seorang anak muda sesuai dengan norma yang berlaku ataukah perilaku menyimpang.
Teori ini menghubungkan penyimpangan dengan ketidak mampuan untuk menghayati nilai dan norma yang dominan di masya-rakat. Ketidakmampuan mungkin disebabkan oleh sosialisasi dalam kebudayaan yang menyimpang.
Teori Sosialisasi menyatakan bahwa seseorang biasanya menghayati nilai-nilai dan norma-norma dari beberapa orang yang dekat dan cocok dengan dirinya. Jadi, bagaimanakah seseorang menghayati nilai-nilai dan norma-norma sosial sehingga dirinya dapat melahirkan perilaku menyimpang…...????? Ada dua penjelasan yang dapat di kemukakan. Pertama, Kebudayaan khusus yang menyimpang, yaitu apabila sebagian besar teman seseorang melakukan perilaku menyimpang maka orang itu mungkin akan berperilaku menyimpang juga. Sebagai contoh, beberapa studydi Amerika, menunjukkan bahwa di kampung-kampung yang berantakan dan tidak terorganisir secara baik, perilaku jahat merupakan pola perilaku yang normal (wajar).
Teori ini menyatakan bahwa perilaku menyimpang timbul sebagai akibat adanya gangguan terhadap proses penghayatan atau sosialisasi nilai-nilai atau norma-norma masyarakat.
Teori sosialisasi dibagi dalam tiga cabang pemikiran, yaitu sebagai berikut:
a.       Teori transmisi budaya
Perilaku menyimpang akan muncul jika seseorang melakukan penghayatan (sosialisasi) tentang nilai atau perilaku dari orang yang dianggap cocok.
b.      Kebudayaan khusus yang menyimpang
Apabila sebagian besar anggota masyarakat merupakan pelaku penyimpangan, maka anggota yang lain pun akan menjadi penyimpang. Perilaku menyimpang yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan dan menjadi hal yang wajar, dan akhirnya menjadi kebudayaan bagi masyarakat yang bersangkutan.
c.       Asosiasi defferensial
Seseorang berperilaku menyimpang apabila pola-pola perbuatan menyimpang itu lebih wajar atau lebih dihargai dalam lingkungan sosialnya.